Cara Cuci Otak Islam Radikalisme Hanya Bermodalkan Membaca Buku dan Kajian Internet

Konten Radikal Internet
Maraknya radikalisme atas nama agama belakangan ini tidak lepas dari pembacaan para pelaku nilai-nilai agama. Tidak dapat dipungkiri, para aktor radikalisme ini hanya membaca buku-buku agama tertentu yang menyebabkan mereka menjadi radikal. Bahan bacaan telah ditentukan oleh mentor agama mereka.

Buku-buku yang diperintahkan untuk dibaca sebagian besar oleh para penulis dari Timur Tengah. Para penulis ini menyulut semangat jihad generasi muda untuk mengorbankan diri mereka atas nama Tuhan dan agama. Di sini, mentor agama mereka mencoba untuk membentuk pemahaman sempit atas nama jihad.

Buku-buku ini sebenarnya bukan buku baru. Banyak dari buku-buku ini telah beredar sejak tahun 80-an ketika gerakan-gerakan Islam marak di kampus-kampus di Indonesia. Pada saat munculnya gerakan Islam, buku-buku tersebut dapat ditemukan di toko-toko buku yang berspesialisasi dalam penjualan buku-buku tersebut.

Buku-buku ini luput dari perhatian pemerintah karena mereka tidak memiliki ISBN. Buku-buku ini menyulut semangat dakwah di kalangan mahasiswa Muslim pada dekade 80-an hingga 90-an.

Dalam studi tertentu, peserta studi diharuskan membaca buku-buku tertentu yang akan dibahas dalam studi mereka. Mereka tidak diperbolehkan atau bahkan dilarang membaca buku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kelompok agama mereka.

Ini menyebabkan pemikiran keagamaan mereka tertutup. Buku-buku Islam dari kelompok lain dilarang untuk dibaca. Mereka bahkan dicap sebagai agen Zionis, sekuler, liberal, dan sebagainya.

Dan ini berlanjut sampai sekarang. Organisasi pelajar dan pemuda Muslim tertentu membutuhkan calon peserta untuk diindoktrinasi dengan membaca buku-buku tertentu

Penerbitan buku-buku Islam ini dilakukan dengan cara yang gelap sehingga tidak terjangkau oleh pemerintah. Penerbit buku tidak terdaftar di lembaga resmi. Buku-buku radikal didistribusikan melalui kelompok belajar tertentu.

Distribusi buku-buku radikal ini dilakukan di seluruh Indonesia. Generasi muda Ghirah yang masih labil tersentak dengan membaca buku-buku ini.

Mereka merasa terpanggil untuk "membebaskan" dunia Islam atau bahkan lingkungan di sekitar mereka dari "thagut" yang tiranik. Buku-buku selalu membagi dunia dalam hitam dan putih, Muslim atau kafir.

Pandangan picik ini kemudian menyebar di kalangan umat Islam di Indonesia dan juga dunia. Ini juga menyebabkan penurunan tingkat toleransi pada kelompok tertentu. Kebencian terhadap Barat, non-Muslim, dan agama-agama lain selalu muncul.

Mereka tidak memahami Islam sebagai "rahmatan lil alamin". Mereka memahami Islam sebagai ideologi tertutup yang anti-asing atau mereka menganggap bid'ah. Bahkan, mereka juga cenderung budaya anti-lokal karena mereka menganggapnya sebagai warisan dari leluhur non-Islam.

Literasi Islam di Indonesia: Dari Radikal ke Liberal

Literasi keislaman di Indonesia sebenarnya sangat beragam gaya sesuai dengan pandangan masing-masing kelompok. Ada yang liberal, radikal, moderat, salafi, dan sebagainya. Buku-buku datang bersama dengan masuknya aliran ini ke Indonesia.

Setelah jatuhnya Orde Baru, Indonesia mengalami buku "bom". Banyak buku diterbitkan. Pemerintah meliberalisasi penerbitan buku di Indonesia. Para penulis tidak takut untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui buku. Sensor buku dihapus.

Kebebasan berekspresi setelah Orde Baru dimanfaatkan dengan baik oleh para penulis Islam dari liberal hingga radikal. Mereka bebas menulis apa saja. Terutama setelah Orde Baru, organisasi dan kelompok Islam radikal tumbuh. Selama Orde Baru mereka ditekan. Saat itu mereka bergerak di bawah tanah.

Beberapa kelompok Islam dari Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, ISIS, dan lainnya berusaha menemukan kader mereka di Indonesia. Sekolah-sekolah lain juga berpartisipasi, seperti Wahabi dan Salafi. Mereka semua saling menuduh dan menerbitkan buku-buku yang menghina kelompok lain.

Di pesantren masih ada banyak buku kuning dari ulama sebelumnya yang masih digunakan sebagai referensi. Meskipun kondisi pada saat itu tidak lagi kompatibel dengan kondisi saat ini. Para penulis Islam kontemporer dari Timur Tengah biasanya menulis buku yang kemudian menjadi dogma.

Para penulis di Timur Tengah tidak menulis dalam iklim liberal seperti di Indonesia. Tetapi para penulis Islam di Indonesia menginjak-injak dunia buku di Indonesia.

Beberapa cendekiawan Islam Indonesia aktif menulis seperti almarhum Nurcholish Madjid, Gus Dur, Moeslim Abdoerahman, Masdar F. Mas'udi, Ulil Abshar Abdalla, dan sebagainya di kamp liberal. Dunia intelektual Indonesia dimeriahkan dengan berbagai wacana yang berkembang. Pemikiran liberal kemudian berkembang di Indonesia meskipun ditentang oleh banyak pihak.

Pasar buku Islam dikunjungi oleh umat Islam. Tetapi apakah ini berkorelasi dengan kesalehan sosial mereka? Apakah ada peningkatan kualitas iman dan perbuatan baik mereka? Apakah buku-buku berkorelasi dengan tingkat toleransi mereka? Ini tentu pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Sebagian besar Muslim adalah kelas menengah baru di Indonesia saat ini.

Tingginya antusiasme kelas menengah Muslim terhadap agama adalah hal yang positif. Tetapi keragaman sekte di antara umat Islam menghasilkan pertengkaran yang tidak mudah diselesaikan. Dalam hal ini buku menjadi sarana untuk menyerang kelompok lain. Selain itu, Internet juga menjadi ajang perdebatan antar kelompok ini.

Ada yang bilang masa depan literasi di Indonesia suram, tetapi ada yang berpendapat bahwa literasi Indonesia bergerak dari konvensional ke digital. Literasi Islam digital juga sangat meriah.

Berbagai situs Islam bermunculan. Namun keberadaan situs-situs Islam di internet tidak serta merta menjadi Muslim yang semakin beradab. Situs-situs Islam radikal merobek melalui dunia maya.

Namun, menurut saya, keragaman agama kelas menengah Muslim di Indonesia belum menyentuh aspek substansial dan dangkal. Pemahaman yang mendalam tentang agama hanya akan menyebabkan seseorang menjadi moderat. Umat ​​Islam di Indonesia hanya pada tahap formalistik. Islam dilihat dari simbol.

Literasi Islam di Indonesia masih belum berkembang dengan baik. Literasi Islami harus membebaskan seseorang dari kerahasiaannya. Alih-alih mengurungnya dalam kepicikan. Allah tahu bisshowab terbaik. *kps*

Post a Comment

0 Comments