Radikalisme Agama Di Indonesia

Assalamualaikum...
Radikalisme artinya secara bahasa yaitu faham atau aliran yang menginginkan sebuah perubahan atau pembaharuan untuk kondisi sosial dan politik dengan cara yang tidak baik yaitu kekerasan atau revolusioner. Namun, bisa juga berarti, konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan.
Radikalisme Agama Di Indonesia
Radikalisme Agama Di Indonesia
Tetapi apabila dilihat dari kacamata keagamaan dapat didefinisikan sebagai faham keagamaan yang merujuk kepada pondasi agama yang sangat dangkal dengan fanatisme keagamaan yang sangat sangat tinggi, sehingga tidak sedikit pengikut dari golongan faham radikalisme ini metode yang digunakan dengan cara kekerasan kepada sekelompok orang yang berbeda pendapat untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

Adapun yang pengertian radikalisme adalah sebuah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan tindakan kekerasan dalam menyampaikan keyakinan mereka. Radikalisme ini biasanya suka mengambil tindakan-tindakan teror, yang menyebabkan ketakutan.

Sementara Islam merupakan agama kedamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan untuk menakut-nakuti dalam menyebarkan agama. Radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa tindakan atau gerakan radikalisme adalah sebagai pemahaman tidak baik dan bahkan bisa menjadi berbahaya untuk NKRI.

Mereka sering mengklaim kebenaran tunggal. Sehingga mereka dengan mudahnya menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat dengannya. Golongan ini memposisikan dirinya seolah-olah paling benar diantara yang lainnya, yang wajib sepaham dengannya. Mereka juga cenderung mempersulit agama dengan menganggap ibadah mubah atau sunnah seakan akan wajib dan hal yang makruh seakan-akan haram. Sebagai contoh ialah fenomena memanjangkan jenggot dan meninggikan celanya di atas mata kaki bagi laki-laki dan bercadar bagi perempuan. Bagi mereka ini adalah hal yang wajib. Jadi mereka lebih cenderung fokus terhadap kulit daripada isi dan menafsirkan agama secara sempit.

Sering kita jumpai sebagian mereka mengalami overdosis agama atau berlebihan. Contohnya, dalam metode penyampaian golongan ini biasanya mengesampingkan metode gradual, “step by step”, yang digunakan oleh Nabi dan Walisanga. Sehingga bagi orang awam, mereka cenderung kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam menyampaikan. Tetapi bagi golongannya sikap tersebut adalah sebagi wujud ketegasan dalam beragama, ke-konsistenan dalam berdakwah dan menjunjung misi “amar ma’aruf nahi mungkar”. Sungguh suatu sikap yang kontra produktif bagi perkembangan dakwah Islam kedepannya.

Padahal kalau kita lihat sejarah, muka Nabi itu “Tabassum” tersenyum. Diamnya Nabi itu seperti orang yang sedang tersenyum, karena dalam hatinya yang penuh dengan cinta dan kasih. Akhlaknya yang santun dan penuh hikmah dalam setiap ucapanya, membuat para sahabatnya ingin selalu dekat dengannya. Ingin selalu mendengar tausiah-tausiahnya.

Akhlak Nabi yang begitu sering kita dengar dari para penceramah, justru sering hanya didengar oleh para muslimin, tanpa ditiru dan dilaksanakan dalam kehidupan keseharian. Karena begitu intensnya tausiyah yang terus menerus setiap hari justru hanya dipakai sebagai acara rutin yang sangat menjenuhkan.

Sebagaimana dikatakan oleh Freud bahwa ibadah-ibadah ritual yang dilakukan berulang kali oleh para pemeluk agama hanya sekedar mengejar ilusi yang justru menghambat manusia mencapai kedewasaan.

Dalam kondisi jenuh tersebut digunakan oleh sebagian atau sekelompok orang membentuk kelompok baru. Kelompok yang berusaha mempraktekkan ajaran Nabi yang santun, ramah, toleran, saling menolong satu sama lain. Berusaha menghidupkan ‘sunnah’ dalam kelompok mereka. Kelompok ini dipenuhi rasa persaudaraan yang sangat tinggi, serta semangat persatuan yang solid, sehingga mereka layaknya keluarga besar. Dengan kelompoknya ia merasa eksistensinya diakui.

Dengan kelompoknya ia merasa kuat dan tenang. Sehingga sering nampak satu kelompok majlis pengajian yang para pengikutnya berasal dari beberapa daerah, berkumpul di satu desa yang penduduk desanya itu tidak mengenal anggota jamaah, kecuali hanya satu atau dua jamaah saja sebagai pengundang atau ketepatan.

Satu atau dua jamaah itulah yang mengundang teman-temannya atau jamaahnya untuk mengadakan pengajian di tempatnya. Mereka datang berduyun-duyun tanpa menyapa warga setempat. Mereka terkesan ‘berbeda’ dan eksklusif dengan warga sekitar lokasi pengajian. Dengan penampilan yang asing dan bahkan aneh bagi warga. Akhirnya mereka menjadi pembicaraan di tengah-tengah masyarakat. Yang akhirnya menimbulkan pro dan kontra.

Disinilah bibit-bibit perpecahan di masyarakat mulai muncul. Satu jama’ah dengan jamaah lainnya saling meremehkan, menjelekkan, menyalahkan terhadap praktek keagamaan yang mereka lakukan. Ironisnya semangat kebencian itu dipicu oleh semangat agama yang diterapkan secara sempit.

Sehingga ketika satu jamaah berpapasan dengan jamaah yang lain mereka tidak bertegur sapa dan menyebarkan salam. Mereka saling memasang wajah ‘ tidak senang ‘ satu sama yang lain. Mereka tidak saling kenal dan tidak mau kenal. Masing-masing merasa cukup dengan kelompok dan keyakinannya.

Post a Comment

0 Comments