Pastor Katolik Dan Banser NU

Makin kesini nasib toleransi di negeri demokrasi ini semakin tak pasti, bahkan berujung ironi.

Banser NU
Dilihat dari absennya peran dan basa-basinya narasi pengayoman dari menteri agama, baik menteri agama yang terdahulu maupun yang baru.


Maka akuilah dengan jujur saja, nilai pancasila dan kesadaran bhinneka tunggal ika selama ini hanya ada dalam teori dan slogan pajangan belaka.

Nyatanya masih banyak peraturan daerah di negeri ini yang masih sangat dzolim pada kebebasan beragama kaum minoritas seperti umat Kristiani, tetapi dibiarkan saja oleh pemerintah pusat.

Mulai dari mempersulit izin (baca: pelarangan) menjalankan ibadah sampai mempersulit izin (baca : pelarangan) mendirikan tempat ibadah.
Sungguh saya melihat umat Kristiani di negeri ini seakan tidak lebih dari anak tiri.

Bayangkan, bahkan dalam momen perayaan tahunan yang paling sakral seperti natal pun, mereka juga selalui dihantui rasa takut dan was-was pada teror bom yang setiap saat bisa saja meluluh lantakkan nyawa mereka bersama keluarga yang dicintainya.

Untuk itu, sekiranya bukan hal ganjil dan basa basi semata, waktu saya tugas Banser dalam pengamanan natal di Gereja Katolik Santo Yosef Ngawi, banyak bapak-bapak dan ibu-ibu umat Kristiani yang mengucapkan rasa terima kasih tulus dengan mata berkaca-kaca pada kami, anggota Banser yang dengan panggilan hati turut bersama TNI dan Polri menjamin keberlangsungan ibadah saudara-saudara Kristiani dengan hikmat dan aman.

Bahkan setelah selesai peribadatan Romo Pastor langsung menjumpai kami untuk ramah tamah dan guyon ger-geran. Beliau juga bercerita, walau sebagai romo pastor juga suka ngudud (merokok) sama seperti kebanyakan dari kami. Kalau sempat kami ditawarkan mampir ke gereja nya untuk sekedar ngudud lintingan (racikan) romo pastor sendiri.

Dan terakhir beliau bertanya pada saya dimana basecamp kami sekaligus berjanji untuk mampir di basecamp kami.

Terima kasih romo, saya tunggu perjumpaannya kembali, sekaligus saya minta bukti kalau romo juga benar ahli hisap seperti kami, hehehehe. 

Sungguh deretan pengalaman malam itu takkan pernah terlupakan dalam hidup saya, dimana adalah tugas pertama kali saya PAM pengamanan natal sekaligus pengalaman perdana saya meresapi bhinneka tunggal ika dalam dimensi lintas agama secara langsung.

Dan untuk itu logika saya selalu tak pernah sampai atau menemukan jalan buntu ketika memikirkan kebiadaban para teroris otak cingkrang yang selalu berusaha mengacau umat beragama lain itu.

Apakah para Pseudo Muslim yang bangga semena-mena atas nama agama itu, tak pernah sekalipun dalam hidupnya berpikir bagaimana jika perlakuan buruk seperti itu berbalik kepada umat Islam?

Apa mereka masih bisa khusyuk beribadah dan menjalankan agama, jika setiap saat nyawanya dan nyawa keluarganya selalu dalam ancaman bahaya?

Dan apakah mereka juga ridho hanya karena berbeda agama diperlakukan seburuk itu oleh sesama manusia?

Serta apakah kehidupan mereka sebegitu menyedihkannya, sehingga tidak pernah merasakan indahnya ruh persaudaraan dalam bingkai perbedaan? 

Ah, sepertinya semua itu terjawab dalam pertanyaan terakhir saya.
  
Jika tidak, maka kubu mereka setiap tahunnya setidaknya tidak gencar menyebarkan logical fallacy (sesat fikir) yang menghubungkan setiap orang yang mengucapkan selamat natal, auto berubah mengimani agama Kristen.

Lha ini kan sesat fikir berlandaskan kedengkian yang sangat konyol sekali, sama juga konyolnya dengan orang yang berpikir mengucapkan selamat makan, auto berubah jadi kenyang, mengucapkan selamat hari pahlawan, auto berubah jadi spiderman, atau mengucapkan selamat nikah, langsung auto bisa ikut gabung ena-ena. 

Selain itu mereka juga melawankan redaksi kalimat selamat hari natal dengan redaksi kalimat syahadat, itu mereka berfikirnya pakai otak atau apa? 

Redaksi kalimat selamat natal itu pas nya ya disejajarkan dengan redaksi kalimat selamat hari idul fitri. Kedua-duanya sama sekali tidak mengandung pengakuan keimanan. Melainkan sebagai wujud kita punya empati sebagai manusia, maka kita bisa turut berbahagia atas kebahagiaan sesama. 

Sedang kalau kalimat syahadat itu, pas nya ya disejajarkan dengan pengakuan iman trinitas. Dan dalam redaksi pengucapan selamat natal atau selamat idul fitri, itu sama sekali tidak ada tukar pertukaran aqidah (iman) antara syahadat dengan iman trinitas. Semuanya murni bentuk akhlaq (moral) yang baik pada sesama manusia. 

Maka, besar kemungkinan hanya manusia yang telah mati empatinya saja, yang mati-matian melarang manusia menebarkan rasa guyub rukun dalam bentuk empati. 

Dan jika dulu saya mengucapkan maulid Kanjeng Nabi Isha hanya melalui lisan, sekarang sebagai anggota Banser saya juga berkewajiban mengucapkannya melalui tindakan.

Semua itu semata-mata untuk meneladani secara total Sang Guru Bangsa, Gus Dur dan senior saya di Banser, sang jihadis sejati, almarhum sahabat Riyanto. 

Serta jika dulu saya bertahun-tahun mempelajari toleransi dan bhinneka tunggal ika dalam bacaan, sekarang mengalami langsung secara pengalaman. 

Sekali lagi terima kasih jabat kasihnya Romo Pastor, pada akhirnya saya merasakan benar kata Sayyidina Ali Ra, "Mereka yang bukan saudaramu seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan".  

Dan terakhir izinkan saya menutup tulisan ini dengan aforisma sebagai Banser Nahdlatul Ulama;

"Di tangan para penerus Khawarij, Islam akan dikenal dunia sebagai parasit, tetapi di tangan para pengamal Aswaja, Islam akan dikenal dunia sebagai agama penuh cinta".

Post a Comment

0 Comments