Keadilan Dalam Islam

Keadilan merupakan salah satu norma kehidupan yang didambakan oleh setiap manusia dalam kehidupan bersosial. Suatu Lembaga sosial yang bernama negara ataupun lembaga-lembaga dan organisasi internasional yang menghimpun negara-negara sepertinya memiliki visi dan misi yang sama terhadap keadilan, walaupun persepsi dan konsepsi mereka barangkali berbeda dalam masalah tersebut.

Keadilan Dalam Islam
Keadilan Dalam Islam
Keadilan merupakan konsep yang relatif. Skala keadilan sangat beragam antara satu negara dengan negara lain, dan masing-masing skala keadilan itu didefinisikan dan ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan.

Dilihat dari sumbernya keadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua; keadilan positif dan keadilan revelasional. Keadilan positif adalah konsep-konsep produk manusia yang dirumuskan berdasarkan kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan kolektif mereka. Skala-skala keadilan – dalam hal ini – berkembang melalui persetujuan-persetujuan diam-diam maupun tindakan formal singkatnya, keadilan jenis ini merupakan produk interaksi antara harapan-harapan dan kondisi yang ada. Sedangkan keadilan revelasional adalah keadilan yang bersumber dari Tuhan yang disebut dengan keadilan Ilahi. Keadilan ini dianggap berlaku bagi seluruh manusia, terutama bagi pemeluk agama yang taat. (Majid Khadduri, 1999:1).

Wahbah Zuhayli, dalam menafsirkan surat Al-Syura ayat 14 menyatakan bahwa keadilan salah satu ajaran yang diemban oleh setiap rasul, bahkan konsep keadilan itu tidak mengalami perubahan dari generasi seorang rasul sampai kepada generasi rasul-rasul berikutnya, dan berakhir pada Muhamad SAW (Wahbah Zuhayli, 1991 :41). Nabi Muhammad SAW sebagai pengemban risalah Allah yang terakhir, juga memiliki ajaran keadilan. Jika Al-Qur’an dan Al Hadis disepakati sebagai dua sumber pokok dan utama dan ajaran Muhamad SAW, maka umat Islam memiliki pegangan yang kuat untuk menggali dan memahami konsep keadilan yang kemudian dapat diaplikasi kan dalam kehidupan individu dan sosial mereka.

Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang utama, banyak sekali menyebut keadilan. Kata al-Adl, dalam berbagai bentuk katanya disebut sebanyak 28 kali, kata al-Qisth dalam berbagai shighatnya disebut sebanyak 27 kali, dan kata al-Mizan yang mengandung makna yang relevan dengan keduanya disebut 23 kali (Muhammad Fuad Abd al-Baqi, 1987 : 448-449 dan 544-545).

Banyaknya sekali pembahasan Al-Qur’an yang membahas tentang suatu keadilan memberikan petunuk bahwa Allah SWT adalah sumber keadilan serta memerintah kan menegakkan keadilan di dunia ini kepada para rasul Nya dan seluruh hambaNya. Walaupun tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menunjukkan bahwa al-‘Adl merupakan sifat Allah, namun banyak ayat yang menerangkan keadilanNya (M. Quraisy Shihab, 2000 : 149). Oleh karena itu, dalam kajian al-Asma al-Husna, al-Adl merupakan salah satu asma Allah, tepatnya asma yang ke- 30 dari 99 al-Asma al-Husna itu.

Mengenal sifat keadilan Allah mempunyai tujuan untuk lebih meyakini dan mendekatkan diri kepadaNya. Lebih jauh dari itu, mendorong manusia berbudi pekerti – sebatas kemampuannya – dengan sifat adil Allah itu, dan mendorong mereka untuk berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meraih – sesuai dengan kemampuannya – sifat adil itu, menghiasi diri, dan berakhlak dengan keadilan itu (M. Quraisy Shihab, 2000 : 32-33).

Allah SWT itu sendiri dengan firman Nya di dalam AL-Qur’an, memerintah kan menegakkan keadilan kepada para rasul Nya dan seluruh hambaNya. Perintah Allah yang ditujukan kepada rasul itu terdapat pada surat al-Hadid (57) ayat 25.

Pada Ayat ini, secara gamblang, mengandung pengertian bahwa setiap rasul adalah pengemban keadilan Tuhan yang tertuang dalam al-Kitab. Bagi Muhammad SAW keadilan yang diembanNya tertuang dalam Al-Qur’an. Ayat ini juga menegaskan bahwa umat manusia mempunyai tugas yang sama dengan para rasul dalam menegakkan keadilan, dan acuan umat Islam dalam menegakkan keadilan adalah Al-Qur’an.

Allah SWT, sebagaimana dapat dilihat surat al-Maidah ayat 8 dan 9, memerintah kan orang-orang mukmin untuk menegakkan keadilan, dan keadilan itu sendiri diklasifikasikan ke dalam amal salih. Oleh karena itu orang mukmin yang menegakkan keadilan dapat dikategorikan sebagai orang yang telah berupaya meningkat kan kualitas ketakwaan dirinya. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa keadilan itu sebagai salah satu indikator yang paling nyata dan dekat dengan ketakwaan.

Pada surat al-Maidah ayat 8 dan 9 tersebut memerintahklan menegakkan keadilan dibidang hukum, baik kedudukan mukmin tersebut sebagai hakim maupun saksi.

Dari ayat yang memerintah akan keadilan tersebut, dapat difahami bahwa perintah keadilan itu meliputi aspek-aspek kehidupan manusia. Majid Khadduri, dalam bukunya yang berjudul Teologi Keadilan (perspektif Islam) mengklasifikasikan ke dalam 8 aspek : keadilan politik, keadilan teologi, keadilan fillosofis, keadilan etis, keadilan legal, keadilan di antara bangsa-bangsa, dan keadilan sosial (Majid Khadduri, 1999 : 13-14).

Identifikasi dan klasifikasi yang dikemukakan, oleh Khadduri, secara detil dan luas ini pun menunjukkan bahwa lapangan keadilan dalam Islam itu begitu luas. Oleh karena itu, pakar muslim pada umumnya melakukan kajian secara spesifik, Murtadha Muttahari mengkaji keadilan Allah. Para teorilisi politik Islam memasukkan kajian keadilan ke dalam sub kajian politik.

Post a Comment

0 Comments